2 Jika Hajr Terjadi ? (1) ~ BERMANFAAT INSYA ALLAH

q.salafy.blospot.com

Senin, 13 Februari 2012

Jika Hajr Terjadi ? (1)

Oleh karena itulah para ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan : “Sepantasnya, bahkan disyari’atkan, bagi ahlul fadhl (orang yang memiliki keutamaan) meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, supaya orang selainnya akan berhenti dari penyimpangan itu”.
Jadi, setiap kita sekarang ini, jika salah seorang imam (panutan) umat meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, setiap kita -demi Allah- seandainya ada kekurangan pada satu sisi, kita tinggalkan perkara tersebut, sehingga imam tersebut tidak akan melakukan terhadap kita, sebagaimana yang telah dia lakukan terhadap orang itu. Karena orang, (akan merasa) senang dishalatkan oleh orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan. Dengan demikian, hajr disini untuk mashlahat umat.

Demikian juga hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik. Hajr ini untuk mashlahat umat dan untuk mashlahat orang yang menyimpang. Oleh karena itu, orang-orang menahan diri (tidak mengikuti sikap Ka’ab bin Malik, Pent). Yaitu, pada waktu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Ka’b bin Malik dan kedua kawannya selama 50 hari, sehingga bumi yang luas terasa sempit. Di dalam hajr ini, terdapat kekuatan besar untuk menghentikan (kesalahan, Red), sehingga tidak seorang pun dari umat Islam ini mengulang kesalahan semisalnya. Dengan demikian, hajr di sini untuk mashlahat umat.

HAJR UNTUK MASHLAHAT MUKHALIF
Ada juga hajr untuk mashlahat mukhalif (orang yang menyimpang) pada dirinya. Ini termasuk di antara jenis hajr, (sebagaimana) ditunjukkan oleh dalil-dalil, di antaranya : hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik dan kedua kawannya. Karena sesungguhnya hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut memiliki manfaat yang besar. Mereka mendapatkan manfaat yang besar dengan hajr ini. Di antara dampak hajr ini, yaitu menerima taubat mereka, dengan kesabaran mereka terhadap hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di antara dalil hajr ini, yaitu hajr ‘Umar bin al Khaththab terhadap Shabigh bin Atsal yang biasa menanyakan ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat di dalam al Qur`an. Beliau (Umar bin al Khaththab) memerintahkan agar manusia menghajrnya, dan beliau memukulnya. Kemudian, beliau memenjarakannya, lalu beliau memukulnya lagi. Kemudian dia (Shabigh bin Atsal) mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau menghendaki membunuhku, maka bunuhlah aku,” (akan tetapi) kemudian ‘Umar selalu menghukumnya sampai dia mengatakan: “Telah hilang apa yang ada dalam kepalaku, wahai Amirul Mukminin!”

Hajr tersebut bermanfaat (bagi Shabigh). Perawi mengatakan: “Shabigh bin Atsal sempat menjumpai masa Khawarij. Ketika Khawarij melakukan pemberontakan, dia tidak ikut memberontak. (Maka) ditanyakan kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak ikut memberontak (melawan penguasa) bersama Khawarij?’,”. Dia menjawab: “Tidak akan, tidak akan. Allah memberikan manfa’at kepadaku dengan nasihat seorang laki-laki yang shalih”. Jadi hajr itu bermanfaat. ‘Umar bin al Khaththab menghukumnya, (dan) hal itu bermanfaat.

Imam Ahmad rahimahullah telah menghajr sebagian orang-orang yang menyimpang. Dan mereka mendapatkan manfaat. Siapakah yang melakukan hajr? Seorang imam dari imam-imam umat Islam. Sekarang, jika ada orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan, dia melakukan hajr bukan karena hawa nafsu, dia melakukan hajr, kemudian sebagian manusia akan berhenti, dan hajr itu bermanfaat. Dengan demikian hajr ini untuk mashlahat orang yang menyimpang.

KAIDAH-KAIDAH HAJR
Hajr ini memiliki kaidah-kaidah, yang membawahi beberapa masalah.

Pertama.
Banyak orang tidak mengetahui hal ini dan menyangka, setiap orang yang menyimpang itu dihajr. Dan setiap orang dari Ahlus Sunnah (yang melakukan kesalahan, Pent) dihajr. Padahal, dalam masalah ini terdapat perincian.

Syaikhul Islam telah menyebutkan: “Hajr hanyalah diadakan untuk mashlahat orang yang dihajr. Jika orang yang menghajr itu lemah, hingga hajrnya tidak bermanfaat, atau orang dihajr tidak mendapatkan manfaat dengan hajr itu, bahkan terkadang menambah fitnah (keburukan), maka (dalam keadaan seperti ini, Red), hajr tidak disyari’atkan”.

Dengan ini Syaikhul Islam menjelaskan, hajr terhadap orang yang menyimpang haruslah memberikan manfaat baginya. Sesungguhnya hajr itu disyari’atkan untuk apa? Untuk mashlahatnya. Allah mensyari’atkan hajr ini untuk mashlahat orang yang salah tersebut, anakmu, istrimu, dan kerabatmu. Seorang umat Islam (yang) terjerumus dalam perbuatan bid’ah, maka disyari’atkan hajr untuk mashlahatnya.

Apakah mashlahatnya itu dengan (jalan) engkau menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat dan kembali (kepada kebenaran). Atau engkau tidak menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat melalui kelembutan dan kembali (kepada kebenaran)?

Di sini, terdapat khilaf (perbedaan pandangan) di antara manusia tentang hal ini. Ada orang yang menempuh jalan tanfiir (menjadikan orang lari dari orang yang salah), dia menyangka bahwa dia melakukan perbaikan, padahal dia melakukan kerusakan. Yaitu ketika dia menghajr orang yang tidak disyari’atkan hajr terhadapnya. Orang yang disyari’atkan hajr terhadapnya adalah orang yang mendapatkan manfaat. Oleh karena itulah Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan bahwa: “Orang yang melakukan hajr hendaklah orang yang kuat”, ini termasuk syarat hajr.

Adapun orang yang lemah melakukan hajr terhadap si Fulan, maka si Fulan itu akan mengatakan: “Kami tidak memperdulikannya!” Seseorang menghajr kawannya sendiri, maka kawan itu akan mengatakan: “Engkau itu siapa? Engkau hanya seorang kawan. Saya masih memiliki seratus kawan selainmu. Tidak ada masalah bagiku dihajr oleh si Fulan”.

Namun jika seseorang dihajr oleh seorang guru, atau seorang ‘alim, atau seseorang yang memiliki keutamaan, (maka ini bermanfaat, Pent). Kita sekarang ini, - seandainya orang semacam Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, atau Syaikh al ‘Utsaimin, atau Syaikh al Albani, atau Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, atau ulama-ulama kita- seandainya seseorang mengetahui bahwa ulama itu berpaling darinya, (maka) seorang yang berakal tidaklah ragu (bahwa hajr itu bermanfaat, Pent). Ia akan introspeksi diri. Berjanji tidak akan mengulangi.

Kita semua mengetahui, para ulama itu tidak mengikuti hawa nafsu. Mereka memiliki keutamaan. Berinteraksi dengan mereka merupakan kebaikan. (Jika mereka ini menghajr seseorang), orang-orang akan bertanya: “Mengapa beliau ini menghajr si Fulan?” Maka dia (orang yang dihajr, Red) akan menghubunginya dan mengatakan: “Apa yang telah sampai kepada Anda tentang saya?” Dia (si fulan itu) akan meneliti dirinya sendiri. Jika ia berbuat kesalahan, maka ia akan mengatakan: “Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya. Dan aku berjanji kepadamu, aku tidak akan mengulangi,” maka hajr itu berpengaruh.

Tetapi, jika ada seorang awam yang menghajrmu, maka engkau bisa mengatakan: “Dia itu orang jahil (bodoh), tidak mengetahui kedudukanku. Aku tidak mengetahui dia menuntut ilmu. Aku tidak mengetahui (jika) ia mengenal Fulan dan Fulan”. Engkau bisa mengatakan: “Dia menghajrku karena hasad (iri) dan lainnya”. Engkau tidak mendapatkan manfaat (dengan hajr orang awam tersebut). Oleh karena itulah, hendaknya orang yang melakukan hajr adalah orang yang kuat dan berpengaruh.

Kedua.
Bahwa orang yang dihajr, (karena) memang ia layak dihajr dan mendapatkan manfaat.

Syaikhul Islam rahimahullah menetapkan masalah ini. Beliau mengatakan: “Dalam masalah ini, manusia berbeda-beda. Sebagian manusia ada yang diberi watak keras dan kuat. Jika engkau menghajrnya, engkau (bisa) merusaknya. Sebagian manusia ada yang diberi watak lemah-lembut. Jika engkau menghajrnya, (maka) dia akan mengoreksi dirinya”.

Oleh karena itulah Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr sebagian orang, dan menta’lif (bersikap lembut) terhadap sebagian orang,” kemudian beliau mengatakan: “Jika mereka itu merupakan para pemimpin, ditaati oleh kaumnya, dan memiliki kekuatan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menta’lif mereka”.

Lihatlah Aqra` bin Habis, Uyainah bin Hishn, dan Abu Sufyan. Mereka ini para pemimpin pada kaumnya. Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr mereka atau tidak? Mereka ini mempunyai bawaan watak keras dan kuat. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr mereka, kemungkinan akan merusakkan mereka. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menta’lifnya (bersikap lembut kepadanya) sampai Allah memberikan hidayah Islam kepada mereka.

Ini berbeda dengan Ka’ab bin Malik. Beliau ini memiliki kekuatan iman. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajrnya, berita itu sampai kepada seorang raja. Lalu raja itu mengirim seorang utusan kepadanya yang mengatakan: “Telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berlaku kasar terhadapmu. Datanglah kepada kami, tinggalkan laki-laki itu!”

Lihatlah, seandainya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghajr Aqra` bin Habis, atau Uyainah bin Hishn, dan datang orang yang mengatakan “telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berlaku kasar terhadapmu,” apa yang kira-kira akan terjadi? Mungkin dia akan murtad dari agamanya.

Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahwa kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala membawa targhiib (dorongan terhadap kebaikan) dan tarhiib (ancaman terhadap keburukan). Dan petunjuk Nabi n dalam menyikapi orang-orang yang menyimpang, (beliau) datang dengan ta’lif (bersikap lembut) dan hajr, datang dengan kelembutan dan dengan ketegasan di beberapa tempat. Sebagian orang tidak tepat dihajr, karena engkau akan merusaknya. Kemungkinan orang yang engkau hajr itu adalah seorang yang berilmu, imam masjid, telah berusia 60 tahun. Sedangkan engkau belum melewati 20 tahun. Engkau datang dan mengatakan “imam masjid berbuat salah!”

Sangat disayangkan, bahwa ada orang yang menghubungi seseorang (yang dianggap ‘alim lewat telepon, atau lainnya, Pent) untuk meminta fatwa. Dia mengatakan: “Imam masjid melakukan demikian dan demikian,” dia (yang dimintai fatwa) menjawab: “Hajrlah mereka itu!”

Baiklah, seandainya dia menghajrnya, siapakah yang akan menghajrnya? Siapakah orang yang hajrnya berpengaruh?

Demi Allah, ini adalah perkara yang berbahaya! Aku heran terhadap masalah seperti ini. Masalah ini memiliki kaidah-kaidah. [7]

Seseorang yang tidak dikenal menghubungi (orang yang dianggap ‘alim), lalu dia bertanya tentang orang yang tidak dikenal, dan tidak pernah bertemu, lalu dia menjawab: “Hajrlah dia! Barangsiapa tidak menghajrnya, maka hajrlah dia!” Kemudian engkau lihat keburukan yang terjadi sekarang, disebabkan buruknya pemahaman terhadap petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian datang sebagian orang, lalu dia berusaha menyimpulkan kaidah-kaidah hajr. Apa yang dia katakan?

Dia mengatakan : “Sesungguhnya hajr hanyalah disyari’atkan terhadap orang-orang yang menyimpang dengan penyimpangan yang besar. Adapun penyimpangan yang sedikit (kecil), tidak diperlukan hajr”.

‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq telah menyebutkan, tatkala saya membaca sebagian bukunya, dia membicarakan tentang sikap terhadap orang-orang yang menyimpang. Maka ternyata dia menetapkan, bahwa hajr hanyalah terjadi terhadap bid’ah-bid’ah yang besar. Adapun pelaku bid’ah-bid’ah yang kecil, maka tidaklah dihajr.

Coba perhatikan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Ada di antara orang yang menyimpang -yang dihajr oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - seseorang yang mengatakan kepada Nabi , agar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berpisah dari Humaira’ (‘Aisyah Radhiyallahu 'anha); di antara mereka ada yang berlaku kasar kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara orang yang menyimpang ada yang berbicara keras kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menta’lif (bersikap lunak dengan) mereka. Dan di antara orang-orang yang menyimpang ada yang memakai cincin emas, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya. Maka manakah yang lebih besar penyimpangannya? Orang yang memakai cincin emas, ataukah orang yang memakai minyak wangi?

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, kaidah ini merupakan kesalahan. Yang benar, hajr dan keadaan seseorang yang dihajr atau tidak, tidak berkaitan dengan pendapat yang menyelisihi, besar atau ringan. Engkau terkadang menta’lif sebagian pembesar ahli bid’ah, jika ta’lif itu mendekatkannya kepada agama. Dan terkadang, engkau menghajr seorang saudaramu yang memiliki sedikit penyimpangan, jika hajr itu bermanfaat baginya. Sebagaimana telah terjadi pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau menghajr istri-istrinya, padahal mereka merupakan Ummahatul Mukminin. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menghajr sebagian orang yang menyimpang.

Dengan demikian, pelaksanaan hajr -sebagaimana telah kami katakan- merujuk kepada mashlahat. Hajr bukanlah merupakan hukuman. Oleh karena itu, perhatikanlah hikmah Allah, yaitu hudud disyari’atkan atas orang-orang yang bermaksiat, seperti had zina, had khamr, dan had qadzf. Dan hudud tidak disyari’atkan bagi ahli bid’ah. Padahal, bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat.

Mengapa demikian? Karena, seandainya sekarang kita mendatangi ahli bid’ah yang menafikan sifat-sifat Allah, lalu kita menderanya, apakah mereka akan mendapatkan manfaat? Tidak bermanfaat! Bahkan -demi Allah- mereka mengharapkan pahala dengan hukuman yang mereka alami itu disebabkan keyakinan yang mereka miliki, yaitu berupa penyucian terhadap Allah (dengan meniadakan sifat itu). Mereka ini, tidak mungkin kesalahan mereka diobati dengan hukuman. Berbeda dengan pelaku maksiat, dia mengetahui bila dia telah bermaksiat. Oleh karena itu, dia berhenti (dengan hudud).

Adapun ahli bid’ah, maka Islam mengajarkan menghilangkan syubhat (kesamaran) darinya. Kadang-kadang Islam mengajarkan ta’alluf (bersikap lembut) terhadap mereka, sehingga kembali kepada al haq. Kadang-kadang Islam mengajarkannya dengan menghukum, sehingga mereka berhenti. Dengan demikian, di antara kaidah-kaidah hajr adalah, memperhatikan keadaan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat dengan hajr atau tidak?

Kita bisa mengetahui dari anak-anak kita, dari kerabat-kerabat kita. Demi Allah, sebagian anak, jika engkau berpaling darinya, dia datang mengucapkan salam dan mengatakan: “Wahai bapak, apakah yang telah aku lakukan? Maafkan aku”.

Sebagian yang lain, jika engkau berpaling darinya, dia pun berpaling darimu, dan mengatakan: “Bapakku keras. Bapakku memiliki sikap keras”.

Anak yang berpaling darimu ini, tidak pantas dihajr. Oleh karena itulah, hajr terkadang menambah jarak menjadi jauh. Dan anak yang berpaling, jika engkau menghajrnya itu, terkadang mendapatkan manfaat yang besar dengan kata-kata yang memompa semangatnya (untuk berbuat kebaikan), dengan berbuat baik kepadanya, menampakkan kecintaan kepadanya. Sementara, jika engkau memberikan semangat dan menta’lifnya, mungkin justru akan merusaknya. Subhanallah (Maha suci Allah). Allah k telah menciptakan makhluk, dan Dia tidak menciptakan makhluk dengan derajat yang sama pada akal, kesabaran, dan ketahanannya.

Suatu ketika, saya pernah mendengar kaset salah seorang thalibul ‘ilmi yang berbuat salah. Dan sebagian ikhwan menghajrnya. (Tetapi) dia mengatakan: “Demi Allah. Seandainya seluruh penduduk bumi menghajrku, aku tidak akan meninggalkan apa yang aku yakini”. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dihajr. Karena dia tidak akan peduli. Dia memiliki kekuatan. Tidak peduli, (meski) semua orang menghajrnya. Dia akan tetap seperti sedia kala.

Ada juga seseorang yang mengkafirkan seluruh manusia, termasuk para ulama, para penguasa, tanpa meminta fatwa kepada seorang pun. Dia, sekali saja, tidak pernah menganggap dirinya (telah) berbuat salah. Orang seperti ini, tidak dihajr, karena dia tidak peduli dengan siapapun. Akan tetapi, jika engkau menta’lifnya, - semoga Allah menunjukinya - , mungkin ini bermanfaat. Ada tujuan syar’i yang terpancang, yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, Pent) :

لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Sesungguhnya jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang dengan sebab kamu, itu lebih baik bagimu daripada onta merah. (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya, Pent.).

Lihatlah sikap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menyimpang. Apakah itu lebih mendekatkan kepada hidayahnya dan kembali menuju kebenaran? Ataukah (justru) lebih menjauhkannya (dari kebenaran)?

Jika kita menghajr Fulan, kemudian (justru) menjauhkannya dari agama, maka itu termasuk sikap yang diharamkan, yaitu membuat orang menjauh dari agama. Jika kita menghajr Fulan, kemudian itu mendekatkannya kepada agama, maka itu termasuk hajr yang disyari’atkan. Oleh karena itu, harus diperhatikan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat ataukah tidak?

Aku akan menyebutkan kepada kali sebuah dampak dari pengaruh hajr yang buruk, yang menyelisihi kaidah-kaidah syar’i. Ini disebutkan oleh sebagian thalibul ‘ilmi, terjadi di negeri Barat.

Dia mengatakan, ada beberapa thalibul ‘ilmi bersatu di atas Sunnah. Lalu ada seseorang dari mereka terjatuh pada kesalahan. Mereka semua sepakat menghajrnya. Dia menyatakan bahwa akhirnya orang yang dihajr itu murtad dari agama Islam menuju agama Nashrani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Yakni dalam perselisihan di antara Ahli Sunnah.
[2]. Kalimat dalam kurung tidak disebutkan oleh Syaikh Ibrahim hafizhahullah.
[3]. HR Bukhari, no. 5534, dari Abu Musa al Asy’ari.
[4]. Yakni, apakah dia merasa lebih berilmu dan kokoh imannya dari imam Salaf ini.
[5]. Bukhari, no. 2295, dan lainnya dari sahabat Salamah bin al Akwa’ z .
[6]. Ghulul, yaitu mengambil harta ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagi oleh imam.
[7]. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim -hafizhahullah- dalam nasihat yang sangat berharga ini.
[8]. Hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya terhadap bentuk kejahatan tertentu.
sumber : www.almanhaj.or.id

0 komentar:

Posting Komentar