Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui
terlebih dahulu bahwa di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan
ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :
هُوَ
الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي
قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ
الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ
إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ
كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا
اْلأَلْبَابِ ءال عمران : 7
Maknanya : "Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan
dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain
ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya
sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
(seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang
mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (Q.S. Al Imran : 7)
Ayat-ayat Muhkamat
: ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak
memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui
dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى: ۱۱
Maknanya: “Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu
segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ سورة الإخلاص :4
Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا سورة مريم :65
Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)
Ayat-ayat Mutasyabihat
: ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan
makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh
pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti
firman Allah :
الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى سورة طه :5
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ سورة فاطر :10
Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله akan
naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini
juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan
selaras dengan ayat muhkamat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ سورة الشورى: ۱۱
Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan
kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat
mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan
mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam ayat
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ سورة ءال عمران : 7
Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
" اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" حديث ضعيف ضعفا خفيفا
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an".
Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan
percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang
muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya' 'Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah :
"Sedang firman Allah : وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ سورة ءال عمران : 7 yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tentang kiamat kapan tiba. Jadi mutasyabih dalam
konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib
karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang
dan akhir semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman:
هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ يَوْم يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ الأعراف: 53
maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.
Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan (berdalih
ayat tersebut) bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada
jalan bagi seorang makhlukpun untuk mengetahuinya serta tidak ada yang
mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah ini termasuk penghinaan
terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui
takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk mengetahui
hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah berfirman (tentang al
Qur'an) :
بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ سورة الشعراء : 195
Maknanya : "Dengan bahasa Arab yang jelas" (Q.S. asy-Syu'ara' : 195)
Berarti
kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti mengatakan
bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ
sebab mereka ternyata tidak memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak
kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur'an ini berbahasa
Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang
tidak diketahui oleh orang Arab padahal al Qur'an berbahasa Arab. Jika
demikian halnya apa sebutan yang patut untuk pendapat yang berujung
pada pendustaan terhadap Allah ini !?".
Az-Zabidi
selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada
pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut
adalah [ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ
], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui
takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu
hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang
tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya.
Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya".
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :
Pertama : Metode Salaf.
Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama.
Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara
global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism
(sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang
layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna
tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut
kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu
segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "
"Aku
beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang
dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah
r sesuai dengan maksud Rasulullah",
yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak
manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang
tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili)
seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa
dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
"Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (Q.S.
al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap
makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya".
Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki
permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya.
Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di
bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama
salaf mentakwil firman Allah : [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ".
Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi,
seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i :
"Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang
menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ".
Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam.
Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar :
"Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII
Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili),
di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah
seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau
banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan
keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah
menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan
didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah
seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi
sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu
'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf.
Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan
menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam
bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat
tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti,
terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan
orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ سورة ص : 75)
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ayat ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan
semacamnya. Bahkan orang yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti
ayat ini tidak boleh diambil secara zhahirnya tetapi harus dipahami
dengan makna yang tepat dan dapat diterima oleh akal. Bisa dikatakan
bahwa makna lafazh istiwa' di sini adalah al Qahr, menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :
اسْتَوَى فُلاَنٌ عَلَى الْمَمَالِكِ
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
قَدْ اسْـتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
"Bisyr telah menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".
Sedangkan faedah disebutkannya 'arsy secara khusus adalah bahwa 'arsy
merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya. Ini
berarti tentunya makhluk-makhluk yang lebih kecil dari 'arsy termasuk di
dalamnya. Imam Ali mengatakan :
"إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ"
“Sesungguhnya Allah menciptakan ’arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”. Diriwayatkan oleh Abu Manshur at-Tamimi, seorang imam serta pakar hadits, fiqh dan bahasa dalam kitabnya at-Tabshirah.
Ayat ini juga boleh ditafsirkan bahwa "Allah memiliki sifat istiwa' yang
diketahui oleh-Nya, disertai keyakinan bahwa Allah maha suci dari
istiwa'-nya makhluk yang bermakna duduk, bersemayam dan semacamnya".
Ketahuilah bahwa harus diwaspadai orang-orang yang menyandangkan sifat
duduk dan bersemayam di atas 'arsy. Mereka menafsirkan firman Allah
:
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Dengan
duduk atau berada di atas 'arsy dengan jarak. Mereka juga mengklaim
bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat, ini adalah klaim
yang bathil. Mereka mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang mereka katakan. Mereka tidak mengerti bahwa kayf
yang dinafikan oleh ulama salaf adalah duduk, bersemayam, berada di
suatu tempat, berada di atas sesuatu dengan jarak dan semua sifat
makhluk seperti bergerak, diam dan semacamnya.
Al
Qusyairi berkata : "argumen yang bisa mematahkan syubhah mereka adalah
jika dikatakan : sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah
Allah ada atau tidak ?! akal yang sehat akan menjawab : ya, Allah ada.
Jika demikian halnya maka sekiranya perkataan mereka " tidak masuk akal
adanya sesuatu tanpa tempat" adalah benar, hanya ada dua pilihan :
pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, 'arsy dan alam adalah
qadim (tidak memiliki permulaan) atau pilihan kedua, Tuhan itu baharu.
Inilah ujung dari keyakinan golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu, sungguh yang Qadim (Allah) tidaklah baharu (muhdats) dan yang baharu tidaklah qadim".
Al Qusyairi juga mengatakan dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah : "Jika dikatakan : bukankah Allah berfirman الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Maka harus diambil zhahir ayat ini. Kita menjawab : Allah juga berfirman
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (سورة الحديد :4) أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ سورة فصّلت :54
Jika
kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harus diambil juga zhahir
kedua ayat ini dan itu berarti Allah berada di atas 'arsy, ada di
antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi alam
dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Padahal –kata al Qusyairi- dzat
yang satu mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat.
Kemudian –kata al Qusyairi- jika mereka mengatakan : firman
Allah ( وَهُوَ مَعَكُمْ ) yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah ( بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ ) maksudnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka ( عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan
dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)". Maksud al Qusyairi
adalah jika mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini
dan tidak memaknainya secara zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela
orang yang mentakwil ayat istiwa' dengan qahr, Ini adalah bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil.
Selanjutnya, Al Qusyairi mengatakan : "Seandainya perkataan kami bahwa istawa berarti qahara
memberi persangkaan bahwa telah terjadi pertarungan dan awalnya Allah
dikalahkan lalu pada akhirnya menundukkan dan mengalahkan lawan-Nya
niscaya hal yang sama muncul dari persangkaan terhadap ayat (سورة
الأنعام : 18) ( وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ)
Sehingga akan dikatakan : Allah sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur (dikalahkan), bukankah hamba seluruhnya tidak ada sebelum Allah menciptakan mereka. Justru sebaliknya (lebih parah) jika istiwa' tersebut adalah dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan bahwa Allah berubah dari keadaan sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa' karena Allah ada sebelum 'arsy diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui bahwa orang yang mengatakan :
العرش بالربّ استوى
"'Arsy sempurna adanya dengan pengadaan-Nya"
Lebih tepat dari perkataan : الربّ بالعرش استوى
Jadi
Allah disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari
berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.
Al Qusyairi berkata : "Telah muncul sekelompok orang bodoh, yang
seandainya mereka tidak mendekati orang awam dengan keyakinan rusak
seiring daya nalar mereka dan terbayangkan oleh benak mereka aku tidak
akan mengotori lembaran-lembaran buku ini dengan menyebut mereka. Mereka
mengatakan : Kita memahami ayat dengan mengambil zhahirnya, ayat-ayat
yang memberi persangkaan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya atau
memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan kita pahami secara
zhahirnya. Tidak boleh melakukan takwil terhadap ayat-ayat tersebut.
Menurut mereka, mereka berpegangan dengan firman Allah :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ
. Demi Allah, mereka ini lebih berbahaya terhadap Islam daripada
orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan penyembah berhala. Karena
kesesatan orang-orang kafir ini jelas, diketahui dan dijauhi oleh semua
ummat Islam. Sedangkan orang-orang yang disebut pertama tadi
berpenampilan layaknya para ulama dan mengakses kepada orang awam dengan
cara yang bisa menarik orang awam agar mengikuti mereka sehingga
mereka menyebarkan bid'ah tasybih ini dan menanamkan pada
mereka bahwa tuhan yang kita sembah ini memiliki anggota badan,
mempunyai sifat naik, turun, bersandar, terlentang, istiwa'
dengan dzat-Nya dan datang-pergi dari suatu tempat dan arah ke yang
lain. Maka –lanjut al Qusyairi- barangsiapa tertipu oleh penampilan
luar mereka akan mempercayai mereka dan membayangkan sesuatu yang
dicerna dengan indra dan menyandang sifat-sifat makhluk diyakininya
sebagai Allah. Dengan keyakinan semacam ini ia telah jauh tersesat
tanpa dia sadari".
Dari penjelasan di atas diketahui
bahwa perkataan orang bahwa takwil tidak boleh adalah kebodohan dan
ketidaktahuan terhadap yang benar. Perkataan ini terbantah dengan doa
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam untuk Ibnu Abbas :
" اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَتَأْوِيْلَ الْكِتَابِ" رواه البخاريّ وابن ماجه وغيرهما بألفاظ متعدّدة
“Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia penafsiran al-Qur'an” (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda)
Al Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya Al Majalis
berkata : "Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengabulkan doa Rasulullah
ini". Kemudian beliau mengingkari dengan sangat dan mencela dengan
pedas orang yang menolak takwil dan menguraikan dengan panjang lebar
hal ini. Bagi yang tertarik silahkan membacanya.
Sedangkan firman Allah (سورة النحل : 50) ﴿ يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ﴾ maknanya
di atas mereka dengan kekuasaan-Nya, bukan dengan tempat dan arah,
yakni bukan di atas mereka dari segi tempat dan arah. Firman Allah
((سورة الفجر : 22 ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴾
datang yang dinisbatkan kepada Allah ini maknanya bukan datang dengan
bergerak, berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi tempat yang
lain dan kafir hukumnya orang yang meyakini semacam ini bagi Allah.
Karena Allah ta'ala yang menciptakan sifat bergerak, diam dan semua
sifat makhluk, maka Allah tidak disifati dengan bergerak dan diam. Jadi
yang dimaksud dengan ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ adalah datang
sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah satu tanda kekuasaan-Nya. Inilah
takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Diriwayatkan dengan sanad yang
sahih bahwa beliau berkata tentang ayat tersebut ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ : yang datang adalah (tanda) kekuasaan-Nya. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad seperti yang sudah pernah disinggung.
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA
﴿ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ ﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾
Hendaklah diketahui bahwa Allah subhanahu wata'ala adalah
pencipta roh dan jasad, berarti Ia bukan roh dan bukan jasad. Maka
ketika Allah menisbatkan roh Isa kepada dzat-Nya, yang dimaksud adalah
Allah memiliki roh Nabi Isa dan memuliakannya. Ini sama sekali tidak
berarti bahwa Nabi Isa adalah bagian dari dzat-Nya (al Juz-iyyah). Hal ini terdapat dalam firman Allah : (سورة الأنبياء : 91) ﴿ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ . Dengan makna yang sama Allah berfirman tentang Nabi Adam alayhissalam :
(سورة ص : 72) ﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾ .
Jadi makna firman Allah : ﴿ فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ (سورة التحريم : 12) adalah : "kami memerintahkan pada Jibril alayhissalam
untuk meniupkan ke dalam Maryam roh yang merupakan milik kami dan
mulia menurut kami". Karena roh itu terbagi menjadi dua : roh yang
dimuliakan dan roh yang jahat. Roh para nabi termasuk dalam kategori
pertama. Karenanya penyandaran (idlafah) roh nabi Isa dan roh
nabi Adam kepada Allah adalah penyandaran yang berarti kepemilikan dan
pemuliaan Allah terhadap keduanya. Hukum orang yang meyakini bahwa
Allah ta'ala adalah roh adalah dikafirkan karena roh adalah makhluk dan
Allah maha suci dari menyerupai makhluk.
Begitu pula firman Allah mengenai ka'bah : (سورة الحجّ : 26) ﴿ بَيْـتِيَ ﴾ , ini juga penyandaran (idlafah) yang berarti kepemilikan dan pemuliaan Allah terhadap ka'bah, bukan menunjukkan bahwa bayt
adalah sifat Allah atau tempat bagi Allah karena persinggungan dan
bersentuhan antara Allah dan ka'bah adalah mustahil bagi-Nya.
Demikian juga firman Allah : (سورة المؤمنون : 116) ﴿ رَبُّ العَرْشِ ﴾
hanyalah menunjukkan bahwa Allah pencipta 'arsy, makhluk Allah yang
terbesar ukurannya. Penyandaran ini tidak berarti ada kaitan antara
Allah dengan 'arsy bahwa Allah duduk di atasnya atau berada di atasnya
dengan jarak. Jadi maknanya bukan bahwa Allah duduk di atas 'arsy dengan
menempel, juga bukan berarti Allah berada di atasnya dengan berjarak
ruang kosong yang luas atau sempit. Ini semua mustahil bagi Allah. 'Arsy
disandarkan kepada Allah karena beberapa keistimewaannya. Di antaranya
bahwa 'arsy adalah kiblat para malaikat yang mengelilinginya
sebagaimana ka'bah menjadi mulia karena orang-orang mukmin berthawaf
mengelilinginya. Di antara keistimewaan 'arsy pula bahwa 'arsy tidak
pernah dikotori dengan perbuatan maksiat terhadap Allah karena yang
berada di sekelilingnya adalah para malaikat yang mulia, yang tidak
pernah berbuat maksiat terhadap Allah sekejappun. Jadi orang yang
meyakini bahwa Allah menciptakan 'arsy untuk Ia duduki telah
menyerupakan Allah dengan para raja yang membuat ranjang-ranjang besar
untuk mereka duduki, dan yang meyakini ini berarti dia belum mengenal
Allah. Juga dihukumi kafir orang yang meyakini Allah bersentuhan dengan
sesuatu karena hal ini mustahil berlaku bagi Allah.
TAFSIR AL MA'IYYAH BAGI ALLAH TA'ALA
DI DALAM AL QUR'AN
Makna firman Allah :
) وهو معكم أين ما كنتم ( (سورة الحديد :4)
al ma'iyyah di sini berarti bahwa Allah ilmunya meliputi di manapun seseorang berada. Kadang al ma'iyyah berarti juga pertolongan dan perlindungan Allah seperti dalam ayat
﴿ إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا [ (سورة النحل :128)
Al ma'iyyah yang
dimaksud dalam ayat-ayat tersebut bukanlah bahwa Allah menempati
makhluk-Nya atau menempel. Orang yang meyakini demikian hukumnya kafir
karena Allah ta'ala maha suci dari menempel dan berpisah dengan jarak.
Karenanya, tidak boleh dikatakan : Allah bersatu atau menempel dengan
alam atau berpisah dari alam dengan jarak. Sebab semua ini adalah sifat
benda, benda yang bisa disifati dengan menempel dan berpisah. Sedangkan
Allah bukan sesuatu yang baharu (makhluk) sebagaimana firman Allah
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu
segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Allah
tidak disifati dengan memiliki bentuk dan ukuran besar atau kecil,
panjang atau pendek karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Demikian pula
setiap pikiran atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran
kepada Allah harus diusir dan dihilangkan dari benak. Jadi ketika kita
mengucapkan : Allahu Akbar maknanya adalah bahwa Allah lebih besar dari
segi keagungan, derajat, kekuasaan dan kemahatahuan bukan dari segi
panjang dan keluasan bentuk dan ukuran. Ini yang dimaksud oleh ulama
salaf ketika menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan mengatakan :
"أَمِرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ".
" Bacalah ayat-ayat tersebut sebagaimana bunyinya tanpa menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk"
Jadi bukan maksudnya bahwa Allah memiliki kaifiyyat
tetapi kita tidak mengetahuinya. Dengan demikian tidaklah sesuai dengan
ulama salaf orang yang menyatakan berdasarkan pernyataan di atas bahwa
istiwa'-nya Allah di atas 'arsy adalah duduk tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk duduk-Nya tersebut.
Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan lelah kepada Allah. Mereka
mengatakan : setelah menciptakan langit dan bumi Allah beristirahat dan
terlentang. Perkataan mereka ini jelas kekufurannya. Allah maha suci
dari ini semua. Ia juga maha suci dari infi'al seperti
merasakan kelelahan, sakit dan merasa enak. Karena yang mengalami
keadaan-keadaan semacam ini pastilah makhluk yang selalu mengalami
perubahan dan ini mustahil bagi Allah. Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ ﴾ (سورة ق : 38)
Maknanya : "Kami (Allah) menciptakan langit dan bumi dan yang berada di antara keduanya, dan tidaklah sekali-kali kami mengalami kelelahan" (Q.S. Qaf: 38)
Yang
akan merasa kelelahan adalah orang yang melakukan perbuatannya dengan
anggota badan, sedangkan Allah maha suci dari memiliki anggota badan.
Allah ta'ala berfirman :
﴿ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾ (سورة غافر : 20)
Maknanya : "Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat" (Q.S. Ghafir : 20)
Allah
ta'ala mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengarnya
makhluk. Jadi mendengar dan melihatnya Allah ada dua sifat-Nya yang
azali yang bukan merupakan anggota badan, artinya bukan dengan telinga
atau kelopak mata, kategori dekat , jauh atau berhubungan dengan arah,
tanpa munculnya cahaya dari mata atau berhembusnya udara.
Barang siapa mengatakan Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun dia mengatakan Allah memiliki telinga tetapi tidak seperti telinga kita. Ini berbeda dengan orang yang mengatakan : Allah memiliki 'ayn tetapi tidak seperti mata kita, yad tidak seperti tangan kita, melainkan sebagai sifat-Nya. Yang terakhir ini boleh dikatakan karena lafazh 'ayn dan yad memang terdapat dalam al Qur'an sedangkan lafazh udzun (telinga) tidak pernah disandangkan bagi Allah dalam teks agama.
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA
﴿ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [
Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [ (سورة البقرة : 115)
Makna
ayat ini adalah bahwa kemanapun kalian menghadapkan muka kalian pada
shalat sunnah di perjalanan maka di sanalah kiblat Allah. Yakni Arah
yang kalian menghadapkan muka kepadanya adalah kiblat kalian. Maksud wajh di sini bukanlah anggota badan muka.
Orang yang meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jelas
dikafirkan. Karena seandainya Allah mempunyai anggota badan berarti dia
serupa dengan kita, bisa berlaku bagi-Nya hal yang berlaku bagi kita
seperti fana' (kepunahan dan kebinasaan).
Terkadang maksud dari wajh
adalah melaksanakan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai contoh ketika orang mengatakan : saya melakukan perbuatan ini
karena wajh Allah, maka maksudnya adalah bahwa aku melakukannya karena melaksanakan perintah Allah.
Haram hukumnya mengatakan seperti orang-orang bodoh katakan : "Bukalah
jendela itu supaya kita dapat melihat muka Allah". Ini dikarenakan
Allah ta'ala berfirman kepada nabi Musa 'alayhissalam :
﴿ لَنْ تَرَانِـيْ [ (سورة الأعراف : 143)
Maknanya : "Engkau tidak akan pernah melihat-Ku (dengan mata di dunia ini)" (Q.S. al A'raf : 143)
Meskipun maksud orang yang mengatakan perkataan tersebut bukan melihat Allah tetap dihukumi haram mengatakannya.
TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA
﴿ اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ [
Firman Allah : (سورة النور : 35) ( اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ )
maknanya adalah bahwa Allah ta'ala Pemberi petunjuk langit dan bumi
kepada cahaya keimanan. Penafsiran ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dari
Abdullah ibn 'Abbas. Jadi Allah bukanlah Nur dalam arti cahaya karena Ia yang menciptakan cahaya. Allah ta'ala berfirman :
)وَجَعَلَ الظلمات والنور ( (سورة الأنعام : 1)
Maknanya : "dan Ia menciptakan kegelapan dan cahaya" (Q.S. al An'am : 1)
Jadi
Allah yang menciptakan kegelapan dan cahaya, bagaimana mungkin ia
adalah cahaya seperti halnya makhluk-Nya ?!, maha suci Allah dari hal
ini.
Hukum orang yang meyakini bahwa Allah adalah
cahaya adalah dikafirkan. Ayat pertama surat al An'am tersebut yang
berbunyi :
) اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ( (سورة الأنعام : 1)
adalah dalil paling jelas yang menegaskan bahwa Allah bukan jism (sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran) katsif (yang bisa dipegang dengan tangan) seperti langit dan bumi dan bukan jism lathif (yang tidak bisa dipegang dengan tangan) seperti kegelapan dan cahaya. Maka barang siapa meyakini bahwa Allah adalah benda katsif atau lathif berarti
ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini adalah dalil
yang menunjukkan kepada hal itu. Kebanyakan kalangan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) meyakini bahwa Allah adalah benda katsif . Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah adalah benda lathif
seperti perkataan mereka bahwa Allah adalah cahaya yang gemerlapan.
Ayat ini saja cukup sebagai bantahan terhadap kedua kelompok Musyabbihah tersebut.
Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan kufur yang lain seperti
keyakinan sebagian orang bahwa Allah ta'ala memiliki warna atau bentuk.
Karenanya seseorang hendaklah menjauhi keyakinan-keyakinan tersebut
sekuat tenaga dan bagaimanapun keadaannya.
0 komentar:
Posting Komentar