2 HUKUM QUNUT SHUBUH ~ BERMANFAAT INSYA ALLAH

q.salafy.blospot.com

Senin, 08 Agustus 2011

HUKUM QUNUT SHUBUH


Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya: Bagaimana pendapat empat Imam Madzhab mengenai qunut?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafiiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jamaah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyariatkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jumat.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyariatkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu Allahummah diini fiiman hadayt . Sebagian ulama menshahihkan hadits ini[1]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[2]
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: Apakah disyariatkan doa qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt ) dibaca pada rakaat terakhir shalat shubuh?
Beliau rahimahullah menjelaskan: Qunut shubuh dengan doa selain doa ini (selain doa Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan doa qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan:
Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin khususnya para penuntut ilmu syari- untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. [3]
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan doa (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini doanya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyariatkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).[4]
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Batu Merah, kota Ambon, 5 Syawal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal



[1] Hadits ini diriwayakan oleh At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ad Darimiy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalm Misykatul Mashobih 1273 [20].
[2] Majmu Fatawa wa Rosa-il Ibnu Utsaimin, 14/97-98, Asy Syamilah
[3] idem, 14/78
[4] idem, 14/80

0 komentar:

Posting Komentar